OPINI

Macetnya Kebudayaan

Agus SB

TULISAN ini lahir dari tesis yang provokatif dari Dr. Cornelis Lay. Dalam Kata Pengantarnya untuk buku yang ditulis Syaiful Bahri Ruray, “Menjemput Perubahan” (Juni, 2007), Lay mengatakan tentang Maluku Utara kurang lebih sbb: “sebuah wilayah yang dahulunya pernah gemilang kini, dengan keadaannya saat ini, tidak mungkin lagi mencapai masa kegemilangannya seperti beberapa abad silam”. Saya merasa, tesis Lay ini menantang tapi juga mencibir masyarakat dan pemerintah daerah Maluku Utara karena kemacetan kebudayaannya. Saya tidak akan mengulas tesis Cornelis Lay itu, silahkan pembaca menyimaknya dalam buku Syaiful Bahri Ruray tersebut sehingga mengetahui secara tepat apa yang ia maksudkan “masa kegemilangan” pada beberapa abad silam, dan mengapa itu terjadi. Di sini, saya menanggapi tesis itu sebagai petunjuk abstrak mengenai kemacetan kebudayaan manusia Maluku Utara. Sebab potensi kebudayaan memungkinkan manusianya memanfaatkan, mengubah dan melestarikan potensi sumber daya alamnya dan dengan cara itu manusia dapat survive dan kreatif mengembangkan peradabannya.

Tema kemacetan kebudayaan, tentu saja, bukan sebuah domain sederhana yang dapat diperbincangkan tuntas dalam sebuah tulisan yang sederhana dalam ruang datar terbatas ini. Saya hanya akan mengangkat beberapa fakta dari pengamatan saya dalam beberapa perjalanan di Maluku Utara, dan dari fakta sejarah prilaku ekonomi masyarakat Maluku Utara yang bersumber dari tulisan amntenar Belanda, W.P. Coolhaas. Bukan data statistik penduduk dengan beragam kegiatan ekonominya, bukan pula angka produksi dari setiap kegiatan ekonomi yang dikeluarkan badan statistik. Fakta-fakta yang saya gunakan (mungkin) tampak sepele dan mungkin tidak memuaskan, tetapi kiranya menjadi indikasi awal dan permukaan tentang “kemacetan kebudayaan” dimaksud. Saya pun hanya mengajukan perspektif untuk memahami lebih jauh dan dalam mengenai tema ini.

**

Keberagaman etnik dan budaya di Maluku Utara dan beragam potensi sumber daya alamnya (laut dan darat) mengisyaratkan adanya beragam potensi yang dapat menjadi mesin kemajuan pembangunan bangsa Maluku Utara dalam berbagai bidang. Masyarakatnya hidup di atas berbagai potensi sumber daya alam (SDA) itu. Dengan perangkat kebudayaannya (pengetahuan, etos kerja, ketrampilan, teknologi, organisasi sosial masyarakat di satu pihak; dan kebijakan, peraturan dan program pembangunan dari pemerintah di pihak lain), mengeksploitasi SDA, mengembangkan kebudayaan ekspresif seperti kesenian dan ekspresi religiusitas. Unsur-unsur potensil pada alam dan budaya itu dieksploitasi untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasariah mereka, sebagian dikonsumsi sendiri oleh rumahtangga dan sebagian dipasarkan. Namun, faktanya tidak seindah imajinasi teoritis ini. Potensi alam yang dieksploitasi untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi dan kebudayaan mereka, faktanya tidak mengalami perkembangan sehingga relatif tidak membantu menaikkan tingkat kehidupan ekonomi dan peradaban mereka. Kemacetan kebudayaan ini dapat dideskripsikan secara sederhana dengan mengacu pada fakta sejarah dan keadaan kekinian :

Usaha Perikanan Laut. W.P. Coolhaas, dalam usianya yang baru 16 tahun saat itu, telah ditempatkan dan bekerja di wilayah Maluku Utara pada tahun 1920-an. Coolhaas yang pernah menetap di Ternate, Soa Sio Tidore kemudian Bacan itu, bercerita (“Pengalaman seorang Amtenar Muda di Maluku”, dalam Van Der Wal, 2001:72-115) tentang; masyarakat pengrajin tembikar di pulau Mare, pengrajin atau pandai besi di Toloa Tidore, para nelayan tangkap ikan di Tidore, perdagangan damar yang dilakukan oleh orang Galela, Tobelo, orang Amasing dan Makian di Bacan, telah ada pada saat ia bertugas di Maluku Utara.

Ia berkisah. Suatu ketika, sekitar tigaratusan nelayan Tidore dengan perahunya menjual hasil tangkapannya di Manado, Sulawesi Utara. Sepulang dari sana, mereka disambut dengan sorak sorak bergembira di pantai oleh anak, istri dan keluarga. Mereka datang dengan mengenakan pakaian baru dan membawa jumlah uang yang banyak. Coolhaas yang saat itu menagih pajak sebanyak satu gulden, oleh seorang nelayan diberikan empat gulden dari hasil penjualan ikannya. Nelayan itu berkata kepada Coolhaas bahwa, satu gulden itu tidak cukup. Coolhaas terperanjat, karena setelah itu kawan-kawan si nelayan tadi masing-masing memberinya sebanyak empat gulden. Coolhaas tidak mengomentari apapun mengenai sikap baik para nelayan itu, demikian halnya juga dengan jenis mata pencaharian masyarakat di atas. Namun dari catatannya pula, dapat diinterpretasi bahwa kegiatan perekonomian di atas telah berlangsung jauh sebelum Coolhaas bertugas di Maluku Utara. Ia tidak menyaksikan sesuatu yang baru muncul ketika ia tiba di Maluku Utara, tetapi menyaksikan sesuatu yang telah ada sebelumnya hingga kedatangannya.

Fakta sejarah di atas, tentu saja menyinggung hanya sisi indah dari keseluruhan cerita (story) tentang penaklukan dan dominasi kaum kolonial di Maluku Utara. Apa yang ingin disampaikan adalah, usaha ekonomi yang dilakoni warga Maluku Utara di atas, hingga kini masih kita temukan. Bagi mereka yang seringkali berkeliling di Maluku Utara dapat memberikan kesimpulan sendiri setelah membaca fakta historis di atas dan fakta yang sama (kegiatan ekonomi) di masa lalu itu hingga kini masih eksis, keadaannya tak beranjak meningkat secara kualitatif dan kuantitatif.

Pada awal tahun 2003, saya mendapati di desa Geti Baru, Bacan barat, hanya satu orang dan bukan orang Galela, orang Bacan atau orang Makian yang menetap di sana, yang trampil membuat dan memiliki beberapa buah bagang ikan. Di Geti Baru, juga terdapat usaha kecil-kecilan mengeksploitasi ubur-ubur putih. Itupun pemilik modalnya konon dari Surabaya.

Usaha penangkapan ikan di Tidore memang tampak sedikit maju dari segi teknologi penangkapan dan di Bacan terdapat perusahaan ikan, tetapi para nelayan di Dufa-Dufa Ternate tidak lebih dari nelayan tradisional yang tidak mudah memenuhi kebutuhan warga pulau dan kota Ternate.

Ketrampilan Tangan (Handicraft). Sekitar tahun 2003 itu juga, setiba di pelabuhan Sofifi, saya melihat ratusan ikat rotan yang ditegakkan berdiri, dikeringkan di pantai. Kata seorang warga Sofifi ketika itu, rotan-rotan itu akan dikirim ke luar Maluku Utara. Kasus serupa terjadi di Doro, Gane Barat. Jangankan tidak menjual rotan ke luar Maluku Utara, warga di sana bercerita bahwa potensi rotan di hutan pinggiran kebun-kebun mereka juga banyak tetapi tidak tahu mau diapakan rotan itu, dan memanfaatkannya hanya untuk membuat saloi dan atau tali pengikat.

Beberapa kerajinan tangan (handicraft) seperti topi tolu, saloi mini dan sosiru dari bahan bambu untuk hiasan dengan desain terlalu sederhana, saya pernah melihatnya di dalam pasar sayur Ternate yang tampaknya kurang laku. Kerajinan tangan serupa juga pernah saya membelinya di pasar Goto Tidore sebagai doho-doho ke Makassar. Orang Tobaru di Sofifi pernah memberi saya wadah paludi, seperti saloi dari pelepah pohon sagu berbentuk kerucut, dan dari seorang warga Moti saya membeli sebuah saloi rotan. Hingga kini saya masih merawatnya sebagai hiasan.

Kaitan dengan kegiatan pandai besi di Toloa, saya belum pernah melihat ketersediaan peralatan modern dan bahan besi yang melimpah untuk para pandai besi ini sehingga dapat berproduksi lebih dari sekadar memproduksi parang. Tumpukan besi yang relatif melimpah justru terdapat di Daruba Morotai Selatan dan beberapa tempat lainnya di sana tetapi tidak dimanfaatkan menjadi sesuatu yang produktif, karena tidak terdapat industri rumah tangga seperti pandai besi di Toloa yang dapat mengolah tinggalan Tentara sekutu dan Jepang yang kini sia-sia itu. Hanya terdapat pengrajin besi putih di Daruba, dimana saya pernah mengunjunginya. Mereka ini pun telah mengeluhkan soal bahan besi putih yang makin berkurang.

Produsen keramik untuk peralatan dapur yang digeluti orang Mare dan telah masuk dalam catatan Coolhaas juga mengalami nasib serupa. Hingga kini tidak beranjak lebih jauh pada tingkat yang lebih kreatif sehingga dapat dikonsumsi oleh konsumen untuk kebutuhan yang lebih beragam, misalnya, keramik untuk hiasan dalam ruang tamu. Potensi yang tersia-siakan oleh pemerintah daerahnya.

Menurut kawan saya, Saiful Madjid, yang melakukan penelitian tesis di komunitas Togutil di Wasiley, damar yang merupakan salah satu bahan dasar untuk melukis pola batik pada kain, tampaknya bukan kekayaan yang produktif bagi warga tempatan di sana disebabkan ketiadaan informasi, kesulitan fasilitas transportasi, dan tidak tersedia jaringan perdagangan sehingga tidak dapat mengakses pasar, seperti Jawa Tengah dan Yogyakarta yang merupakan salah satu pusat industri pakaian batik di Indonesia.

Kebudayaan Ekspresif dan Religiusitas. Telah dikatakan bahwa, keberagaman etnik dan budaya mengisyaratkan adanya beragam potensi kultural, termasuk unsur kesenian. Tetapi bidang kesenian ini, sebagai kebudayaan ekspresif, pun mengalami nasib serupa. Musik bambu tada di Halmahera Barat, Suling bambu (yangeree) di Halmahera Utara, Togal, Cakalele, dan jenis tarian lainnya yang dimiliki komunitas-komunitas di Maluku Utara merupakan keragaman potensi berkesenian yang luar biasa kaya dibandingkan dengan masyarakat homogen dari segi etnik yang cenderung memiliki unsur kesenian yang sama dan tunggal. Masalahnya, disamping ketiadaan upaya menghidupkan, juga tidak tersedianya sumber daya manusia dan lembaga yang sesuai dengan bidang tersebut untuk dihidupkan dan direproduksi, dibiakkan secara kreatif. Disamping sebagai ekspresi identitas pendukungnya, dalam logika industri pariwisata yang kapitalis, justru dapat menambah PAD dan pendapatan bagi warga pendukung kesenian tersebut.

Pertanian. Sektor ini menyedihkan.. Dalam amatan saya, petani di Maluku Utara memiliki kecenderungan homogen dalam pola bertani dan pilihan jenis tanaman tahunan, seperti; coklat, kelapa, pala, dan cengkeh. Kegiatan pertanian terutama berpusat pada perladangan. Tidak ada yang salah dengan pola berpikir dan bertanam yang cenderung homogen demikian. Masalahnya jenis tanaman palawija seperti sayuran, bumbu dapur seperti tomat, cabe dan sebagainya yang dibutuhkan sehari-harinya cenderung diabaikan atau sedikit dari warga masyarakat yang menanam hanya untuk konsumsi sendiri. Itu pun kalau demikian yang terjadi. Labu atau sambiki, Sawi, wortel, bawang merah dan putih, nyaris semuanya didatangkan dari Sulawesi Utara. Demikian halnya produksi padi. Meskipun kita beruntung adanya para transmigran Jawa yang memproduksi padi, tetapi hanya segelintir penduduk lokal yang mengusahakan padi sawa seperti di Daeo, Morotai Selatan dan Sangowo di Morotai Timur. Hal ini boleh jadi berkaitan dengan keadaan tanah, iklim, pengetahuan dan ketrampilan warga masyarakat serta kebijakan pertanian dari pemerintah.
***

Pada saat yang sama, Maluku Utara yang tidak dapat mengelak dari kondisi globalisasi ekonomi dan kebudayaan saat ini, dikepung oleh produk industri modern seperti perabotan rumah tangga (dari kursi, meja, keramik pajangan, hingga wadah air minum dan sendok) dari plastik hingga besi dengan berbagai model, kualitas dan jumlah. Dikepung berbagai jenis kesenian modern yang membawa nilai-nilai dari kebudayaan yang tak lagi beralamat akibat globalisasi budaya dan ekonomi. Sebagian orang Maluku Utara juga sangat bernafsu menggunakan batik dari Jawa sehingga terkesan dikoloni oleh batik Jawa. Tetapi kita tidak pernah menawarkan damar kepada produsen batik di Jawa, apalagi mau mengaji peninggalan corak batik daerah sendiri untuk kemudian diproduksi dan dipersaingkan di pasaran.

Dengan sedikit perbandingan lintas budaya, kita akan lebih mengerti di mana letak kemacetan kebudayaan (prilaku) ekonomi itu terjadi. Kurang lebih sepuluh bulan, saya hidup bersama sebuah komunitas adat di Tasikmalaya, Jawa Barat. Di sana, seorang warga yang saya kenal dekat, dapat menghidupi, setidaknya memberikan pendapatan kepada warga lainnya selama waktu bekerja, antara 15 sampai 30 orang ketika ia memperoleh orderan atau pesanan. Baru-baru ini, yang bersangkutan memperoleh orderan piringan untuk sayuran dan buah-buahan yang terbuat dari bambu sebanyak 40 ribu buah yang nantinya dikirim ke Bekasi. Ia mempekerjakan sekitar 15 orang dalam komunitasnya dengan waktu satu bulan harus selesai.

Di komunitas itu, saya mengamati tidak hanya piringan, tetapi satu unsur potensi alam yang sama, bambu, yang mudah diperoleh dari lingkungan sekitar, dapat diubah menjadi pengalas menu panas, kap lampu, kerei (tirai penahan sinar matahari), keranjang, dengan teknik dasarnya anyaman. Pasarnya tidak hanya Bekasi, Yogyakarta, Jakarta, tetapi menjangkau Malaysia, Amerika dan Eropa. Fakta ini jelas berkebalikan dengan prilaku ekonomi warga Maluku Utara. Di Maluku Utara, sejauh saya dapat mengamatinya, relatif tidak adanya kreatifitas yang dapat mereproduksi satu bahan yang sama, seperti bambu, menjadi artefak lain yang nilai ekonomisnya dijamin oleh mutu dan ketersediaan pasar (permintaan).

****

Mengapa kebudayaan kita mengalami kemacetan? Di atas sedikit telah disinggung penyebab dari kemacetan kebudayaan kita. Tetapi ditegaskan lagi di sini. Kita dapat membaca kemacetan kebudayaan Maluku Utara dari dua arah; pertama, perspektif internalis yang melihat dimensi internal (inner world) manusia (masyarakat) yakni berupa pengetahuan, ketrampilan, nilai-nilai dan moralitas yang membentuk etos kerja yang mendasari kreatifitas dan produktifitas kebudayaan sebuah masyarakat. Kedua, perspektif eksternalis, melihat dimensi eksternal dari masyarakat seperti kepemimpinan politik, struktur (aturan, birokrasi), pasar dan teknologi sebagai yang mendasari kreatifitas dan produktifitas kebudayaan masyarakat. Keduanya tidak akan dibahas secara detail dan hanya secara garis besar.

Jika kemacetan kebudayaan kita dilatari faktor dunia internal (inner world) manusia, itu berarti etos kerja kita rendah atau kurang mendukung bagi terciptanya kreatifitas dan produktifitas dalam berbagai bidang kehidupan, tidak hanya ekonomi. Masyarakat Maluku Utara bukanlah bangsa yang tidak beragama dan hampa nilai-nilai budaya. Agama, nilai-nilai dan moralitas yang bersumber dari tradisi budaya menjadi sumber potensil bagi tumbuhkembangnya etos kerja sebuah masyarakat. Ini telah dibuktikan oleh Robert N Bellah di Jepang, C.Geertz di Jawa, pencetus teori n-Ach, Mclelland dan telah sangat lama digemakan oleh Max Weber.

Jika seseorang menganggap bahwa masyarakat Maluku Utara itu malas dan pasif dalam hidup maka, logikanya, setidaknya kreatifitas kultural mereka telah lama punah. Faktanya budaya ekonomi dan kebudayaan ekspresif mereka masih eksis meskipun jalan di tempat. Mereka hanya, sekali lagi, tampaknya mengalami kemacetan dalam pengertian lemahnya kreatifitas dan produktifitas untuk mencipta, mengembangkan dan meningkatkan sesuatu (handicraft, bertani, nelayan dan berdagang) baik yang telah ada maupun diciptakan, secara kualitatif dan kuantitatif. Ini tidak lantas berarti bahwa kelemahan itu disebabkan etos kerja mereka.

Masalah kemacetan budaya ini harus juga dilacak pada dimensi eksternal masyarakat. Saya menyadari, dalam perjalanan sejarah masyarakat Maluku Utara tidak dapat dilepaskan dari kondisi-kondisi historis yang melumpuhkan dan berpengaruh terhadap perkembangan kebudayaan dan peradabannya, seperti penjajahan, perubahan sistem politik dan pemerintahan, konflik antar elit politik di masa lalu, krisis politik dan ekonomi, serta konflik elit daerah dan konflik SARA tahun 1999 hingga tahun 2000.

Namun, kepemimpinan politik daerah, peraturan dan kebijakan pemerintah, birokrasi, program dan kebijakan pembangunan daerah, semuanya menyumbang terhadap berkembang atau meningkat dan atau jalan di tempatnya kehidupan sebuah masyarakat. Apakah kepemimpinan politik dari aktor, peraturan, kebijakan dan program yang dibuatnya serta bekerjanya aparatus birokrasi yang dipimpinnya berpihak pada kepentingan rakyat banyak atau semata untuk kepentingan elit politik dan kelompoknya saja, seperti fenomena politik klientistik. Misalnya, kebijakan dan program pendidikan dan pelatihan untuk peningkatan ketrampilan yang diberikan kepada warga masyarakat untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas, seperti kreatifitas mereka menciptakan hasil kerajinan tangan yang telah ada, sekaligus membantu membudidayakan bahan bakunya, membantu permodalan (finansial dan teknologi tepat guna), serta membuka aksesibilitas mereka terhadap pasar di luar Maluku Utara; “pemberdayaan ekonomi rakyat”.

Demikian pula, kebijakan dan program yang ditujukan untuk membantu masyarakat dalam bidang pertanian sehingga petani tidak hanya berhenti pada menanam dan menjual, tetapi juga menanam, mengolah dan menjualnya ke dalam dan ke luar Maluku Utara. Dalam konteks ini pula, budaya kuiliner yang tecermin dalam kebiasaan makan kita, juga tidak direproduksi menjadi komoditi untuk wisata kuiliner misalnya. Andalan Bagea, padahal di luar Maluku Utara, Bagea kelapa maupun kenari dikenal justru dari Manado. Aneh. Bahkan ada kesan sombong ketika sebagian orang meremehkan “popeda” dan sebaliknya bangga mengonsumsi makanan instan dan siap saji yang bagi orang terdidik tidak akan dikonsumsi karena kurang bergizi dan membahayakan kesehatan akibat bahan kimiawinya. Keseluruhan fakta kemacetan budaya tersebut menimbulkan dugaan; jangan-jangan bukan kelangkaan sumber daya alam dan manusia yang dihadapi Maluku Utara, tetapi “kelangkaan niat baik” para penentu dan pembuat kebijakan pembangunan daerah.

Mana dari kedua perspektif di atas yang didukung oleh kenyataan faktual, sangat bergantung pada pembuktian lapangan dari para akademisi yang sedemikian banyak di beberapa perguruan tingggi di Maluku Utara. Satu hal yang dapat dikemukakan di sini, kedua dimensi di atas tidak dapat dilepaskan satu dengan lainnya disebabkan eksisnya satu dimensi mengandaikan dukungan dimensi lainnya. Keduanya saling mendukung (interplay).

Akhirnya, sangat bergantung pada tanggapan kita terhadap tantangan dari dunia internal maupun eksternal yang melingkupi kita yang menentukan maju atau sebaliknya memacetkan peradaban Maluku Utara (lihat Arnold Toynbee,1972). Tanggapan atas tantangan itu menentukan keberlanjutan peradaban, dan dengan demikian kehidupan kita selanjutnya; apakah tanggapan dan tantangan itu melahirkan sintesis yang cerdas ataukah malah kehidupan kita makin terpuruk justru ketika kita menggenggam otonomi daerah.

Agus SB
Pengajar pada STAIN dan Fisip UMMU Ternate, masih belajar antropologi di UGM

Tinggalkan komentar